Memendam Rindu

Oleh Muhammad Rizqon

Ahad yang lalu, saya berkesempatan menghadiri walimatussafar di sebuah masjid di kawasan Islamic Center Pondok Gede. Saya memuji ide kreatif mengadakan acara walimatussafar di masjid itu. Praktis, efisien, ekonomis dan lebih efektif dibanding harus sendiri-sendiri mengadakan acara tersebut. Undangan —termasuk saya— merasa beruntung karena dengan sekali datang, sahabat-sahabat yang dipanggil Allah pergi ke Baitullah itu bisa dijumpai sekaligus. Kunjungan tersebut bagi saya membawa manfaat yang cukup besar. Selain bersilaturahim, kami bisa saling bermaafan, saling berdoa untuk kebaikan, dan saling berwasiat taqwa. Kunjungan itu juga menjadikan saya bermuhasabah dan berusaha mengambil hikmah tentang keajaiban-keajaiban yang menghantarkan seseorang bisa pergi berhaji.

Saya teringat dengan sahabat saya, yang tahun lalu berangkat haji atas biaya kantor. Namanya Imam Gunawan, seorang PNS dari kantor pemerintah. Di kantor yang lama, dia adalah seorang pejabat yang sederhana. Pulang dan pergi kantor menggunakan bus jemputan. Di kantor dia adalah ketua lembaga yang menangani pemakmuran masjid kantor. Di tempat tinggalnya, dia juga terkenal sebagai seorang imam masjid dan ketua RT yang sederhana. Ke mana-ke mana kalau tidak naik angkot, ya naik sepeda atau jalan kaki. Jika kondisinya penting, dia tidak segan menggunakan taksi. Tetapi soal ilmu agama, banyak orang yang menaruh respek kepadanya. Salah satu pesantren di daerah Mangkang Semarang, pernah dia diami beberapa tahun di sana sebelum dia kuliah di fakultas hukum Universitas Diponegoro.

Saat saya berkunjung ke rumahnya sepulang berhaji, di kawasan Villa Nusa Indah, saya mencoba menggali rahasia-rahasia apakah yang menjadikannya dipanggil Allah ke Baitullah dan berkunjung ke masjid Nabawi. Dia berujar kepada saya, “Betul. Saya tidak pernah mengira akan pergi naik haji, terbayang pun tidak. Saya menyadari gaji saya tidak seberapa. Keperluan saya tidak sebanding dengan gaji yang saya peroleh. Menabung pun saya tidak bisa. Tapi itulah barangkali kekuasaan Allah”.

“Panggilan Allah itu pasti ada sebabnya Pak Imam. Tidak mungkin Allah memanggil kalau tidak ada sesuatu yang spesial dari Bapak. ” Saya mencoba menggali sesuatu yang mungkin menjadi rahasia keajaibannya.

”Ya. Saya terkadang suka bermimpi (punya keinginan) —kalau bukan dikatakan berkhayal—alangkah bahagianya jika bisa pergi berhaji. Mungkin itu rasa rindu dari lubuk hati saya terdalam. Tetapi saya selalu berusaha menepis keinginan itu karena rasa-rasanya tidak mungkin. Tetapi satu sisi saya juga menyadari bahwa Allah itu adalah Maha Kuasa terhadap keinginan hamba-Nya. Oleh karenanya, saya selalu memanjatkan doa —tidak peduli dikabulkan apa tidak—sehabis shalat fardhu dan itu sudah menjadi bagian dari doa-doa yang saya bacakan dihadapan jamaah sehabis shalat. Saya tidak tahu apakah karena saking rindunya saya pergi ke Baitullah, menjadikan doa-doa itu senantiasa terpanjat dalam setiap kesempatan berdoa yang saya panjatkan. Dan rupanya Allah mendengar doa-doa saya itu. Waallahu’alam. ”

Dalam hati saya berucap, boleh jadi itulah rahasianya, kenapa Allah berkenan memanggilnya pergi berhaji.

***

Saya melihat tidak setiap mereka yang berhaji adalah karena semata-mata memenuhi panggilan Allah. Bisa jadi hanya sekedar ingin berwisata, berdagang, jalan-jalan, atau motif-motif lain yang bukan karena ibadah. Hal ini antara lain nampak dari perilaku mereka setelah pulang dari Baitullah. Biasanya mereka yang berhaji bukan semata karena panggilan Allah itu, tidak menunjukkan perubahan yang berarti —baik dalam perilaku maupun ibadah keseharian— antara sebelum dan sesudah naik haji. Boleh jadi, inilah isyarat Allah sebagai bahan pelajaran bagi mereka yang belum diberi kesempatan pergi berhaji, bahwa pergi haji bukanlah semata-mata masalah fisik dan keuangan tetapi juga masalah ruhiyah (hati).

Saya menyakini bahwa pergi hajinya sahabat saya adalah semata-mata panggilan dari Allah.
Pertama, saya mengetahui bahwa dia memendam rindu pergi berhaji, dan panggilan Allah itu adalah wujud respon dan kasih sayang-Nya. Saya coba merenungkan, apa mungkin seseorang akan dipanggil jika tidak menunjukkan keinginan? Katakanlah panggilan test rekrutmen pegawai tentu ditujukan bagi mereka yang menginginkan pekerjaan, yaitu bagi mereka yang telah mengirim applikasi. Bagi mereka yang tidak mengirimkan applikasi tentu tidak mungkin di panggil.

Kedua, saya mengetahui bahwa dia memiliki kesiapan mental (iman) dan ilmu yang cukup. Boleh jadi, dengan kesiapan inilah Allah berkenan memanggilnya. Analogi dari proses rekrutmen tadi, seleksi atas calon pegawai yang diterima bekerja, biasanya melalui serangkaian test yang diujikan. Ada test kemampuan umum, psikotest, wawancara, TOEFL, dan test-test lainnya. Test-test itu pada hakekatnya adalah untuk mengetahui kemampuan, kepribadian, dan keseriusan untuk bekerja. Demikian juga dalam kehidupan sehari-hari, Allah senantiasa menguji hambanya untuk mengetahui mana yang benar imannya, yang benar kerinduannya, dan yang benar kesiapan ruhiyahnya untuk pergi berhaji. Allah dengan kekuasaannya, sanggup memampukan orang-orang yang tidak mampu dan memberi jalan pergi ke Baitullah, tentu dengan syarat kecintaannya kepada Allah dan Rasulullah adalah kecintaan yang jujur.

Kisah Imam Gunawan sahabat saya, memberi pelajaran bahwa Allah yang Maha Kaya, tidak akan menyia-nyiakan hamba-hamba yang memendam rindu ‘bertemu’ dengan-Nya. Kisah tersebut juga memberikan pelajaran tentang benang-benang merah sebuah kehidupan. Artinya, potongan kehidupan seseorang itu hendaknya dilihat secara utuh bukan bagian per bagian. Kenikmatan yang diperolehnya saat itu bukanlah karena suatu kebetulan, tetapi bisa jadi adalah buah ketaatan dan kecintaan kepada Rabbnya.

Saya mengambil hikmah bahwa jika saat ini kita belum dipanggil pergi berhaji, boleh jadi rindu kita untuk pergi haji belumlah rindu yang sebenar-benarnya (tidak seperti rindunya sahabat saya tersebut). Acara walimatussafar membangkitkan motivasi saya untuk segera berbenah mempersiapkan dan memperbaiki diri. Sangat mungkin jika saya kurang bersungguh-sungguh atau belum sepenuhnya memendam rindu.

***

Ada kisah menyedihkan tentang kerinduan yang direkayasa. Baru-baru ini di lingkungan saya, beberapa ibu-ibu (ada sekitar 35 orang), dijanjikan bisa pergi haji dengan membayar hanya membayar Rp 150. 000 (kalau tidak dicalokan bisa Rp 75. 000). Anehnya, jadwal manasik haji yang dijanjikan selalu mundur dan mundur. Dan ibu-ibu maklum saja dengan berbagai alasan yang dilontarkan panitia. Sampai detik ini, manasik haji pun belum dilakukan. Malah mereka dijanjikan bisa berangkat tanggal 13 Desember. Mana mungkin? Tetapi nampaknya mereka sudah ‘gila’ dan tidak bisa menerima penjelasan yang masuk akal dari siapapun.

Obsesinya begitu melambung untuk pergi naik haji, tetapi kesiapan mental dan ilmunya sama sekali tidak diperhatikan. Kasihan, mereka menjadi korban dari penipuan. Salah seorang teman tetangga yang emaknya hampir tergiur kegiatan tersebut, menegur emaknya, “Mak, mending gak usah urus gituan dach. Sekarang emak lihat, shalat subuh saja masih bolong-bolong. Itu aja dulu dach diurusin. Ngak usah ngurusin pengin ikut naik haji dari yayasan yang gak jelas. Iya kalo bener, kalau kagak kan malu. ”

Kisah ibu-ibu yang tertipu dengan janji haji, selain menunjukkan bahwa keinginan yang tidak didasari ilmu dan keikhlasan adalah keinginan yang kosong juga menunjukkan kebanyakan masyarakat kita masih sangat awam tentang arti dan makna berhaji. Saya bisa memastikan, kerinduan mereka bukanlah sepenuh rindu. Sebab Alllah hanya akan memudahkan jalan bagi orang-orang yang jujur merindukan-Nya.

Semoga Allah membimbing kita dengan kerinduan yang benar di jalan-Nya. Amin.

Waallahu’alam.

Tinggalkan komentar