Archive for Januari, 2008

Keutamaan Sadaqoh

gambar-090.jpgPada waktu Alloh menciptakan gunung-gunung di muka bumi bergetarlah seluruh jagat raya ini, kemudian para malaikat bertanya pada Alloh. “Ya Robi adakah yang lebih dahsyat lagi dari gunung” kemudian Alloh menjawab : “Ada, yang lebih dahsyat dan hebat dari gunung adalah Besi baja.” untuk saat ini saja banyak bukit dan gunung yang berubah menjadi dataran karena di ratakan oleh Buldoser. Kemudian Para malaikat bertanya lagi, “adakah yang lebih hebat dan kuat dari sebuah besi dan baja” Alloh menjawab, “Ada, yang lebih kuat dan hebat dari sebuah besi dan baja adalah Api” Bayangkan segimana kuatnya besi jika dibakar oleh bara Api makan akan membara dan lumer. Kemudian Para Malaikat pun meneruskan pertanyaan lagi, “adakah yang lebih dahsyat dan kuat dari Api”. Alloh menjawab “Ada, yang lebih kuat dan dhasyat dari Api adalah Air”. Seganasnya Api, maka akan mati dan padam jika di timpa atau diguyur Air. Kemudian Malaikat bertanya lagi  “adakah yang lebih hebat dari Air” Alloh Menjawab “Ada, yang lebih dahsyat dari Air adalah Angin”. Bayangkan luasnya Samudra yang dipenuhi air, maka air tersebut akan turut dan patuh sama Angin, maka terjadinya Ombak, besar kecilnya ombak tergantung besar kecilnya Angin. Kemudian Malaikat Bertanya lagi. “Adakah yang lebih kuat dan hebat dari Angin” Alloh Menjawab “Ada, Yang lebih kuat dan hebat dari Angin adalah Sedeqahnya umat Adam dimana tangan kanan yang memberi dan tangan kiri tidak mengetahinya, Artinya adalah Sedeqah yang Ikhlas tanpa mengharap imbalan dan dilihat orang.

Pada suatu saat teman saya bercerita tetentang temannya yang mengalami kejadian luar biasa. Ceritanya ada dua Akhwat yang hendak pulang ke kampung halamannya di salah satu kota di jawa tengah, mereka naik salah satu Bus, dalam perjalanan bus yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan hebat, seluruh penumpangnya mengalami luka-luka bahkan yang duduk disebelah kursi mereka meninggal. Anehnya Akhwat berdua tidak mengalami luka sedikitpun bahkan mereka baru menyadari bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan karena pada saat kejadian mereka tertidur. Teman saya bertanya kepada temannya mengenai kejadian aneh yang menimpa itu. “Kenapa bisa seperti ini kalian sementara yang duduk disebelahnya saja sampai mengalami luka yang cukup serius” dari salah satu Akhwat bercerita mengenai kebiasaan bersedeqah sebelum berangkat pergi pulang kampung, dan dalam perjalanan mereka selalu bersholawat dan berdzikir sampai tertidur.

Leave a comment »

Selamat Tahun Baru….

Oleh Rubina Qurratu’ain Zalfa

Tahun baru Islam atau tahun baru Hijriah 1 Muharram, bukan hari raya agama, meski dinyatakan sebagai hari libur nasional. Perayaan Tahun Baru Islam juga tidak semeriah perayaan Tahun Baru Masehi.

Namun Tahun Baru Hijriah memiliki makna penting bagi umat Islam, menjadi bagian sejarah Islam yang menandai perjuangan berat seorang Rasulullah Muhammad Saw dalam menyebarkan risalah Islam dan menjadi sebuah awal perubahan bagi umat Islam, terutama dari sisi spiritual

Tahun Baru Hijriah yang didasarkan pada peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw bersama kaum Muslimin dari Makkah ke Madinah, bukan sekedar hijrah secara fisik tapi juga hijrah secara drastis dari sisi mental. Seperti yang diungkapkan oleh sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab tentang hijrahnya Nabi Muhammad Saw, bahwa “Hijrah itu membedakan antara yang hak dan bathil. “

Oleh sebab itu, umat Islam selayaknya tidak memandang tahun baru Islam hanya sekedar pergantian tahun biasa seperti ketika kita merayakan tahun baru Masehi. Tapi mencontoh semangat hijrah Rasulullah terutama dari sisi mental dan spiritual, dengan lebih memurnikan keimanan dan ketaqwaan kita pada Allah Swt. Menguatkan tekad dan niat untuk melakukan pembaharuan drastis dan membebaskan diri dari kebathilan dan dari cinta dunia menjadi cinta hanya kepada Allah Swt.

Mampukah kita? Melakukan perubahan drastis memang bukan perkara yang mudah, butuh kemauan kuat dari dalam diri kita sendiri untuk bertindak revolusioner. Namun tak ada kata susah, jika kita memang ingin mengisi sisa waktu kita hidup di dunia dengan perbuatan baik dan mengejar pahala semata-mata karena Allah Swt. Kalau tidak dari sekarang kapan lagi?

Yang paling ringan mungkin bermuhasabah dan sedikit demi sedikit meninggalkan kebiasaan yang merugikan amaliyah diri kita sendiri. Apa saja kebiasaan yang merugikan itu, mungkin berbeda-beda antara individu yang satu dengan yang lain, dan diri kita sendirilah yang paling tahu kelemahan masing-masing. Mengutip kalimat Kyai Haji Abdullah Gymnastiar alias AA Gym, mulailah dari hal yang kecil, dari diri sendiri dan dari sekarang. Mudah-mudahan, perubahan-perubahan kecil ini akan makin mendewasakan kita dan meningkatkan kecintaan kita padaNya.

Yang terpenting adalah, mari kita luruskan niat untuk “hijrah” karena mengharapkan ridho Allah Swt semata. “Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, hijrahnya (akan diterima) sebagai hijrah karena Allah dan Rasulnya… ” (HR Bukhari dan Muslim).

Semoga Allah Swt senantiasa membimbing kita ke jalanNya dan serta memberi hidayah dan rahmatNya pada kita semua, dan pada bangsa ini yang sedang dilanda ujian musibah dan bencana bertubi-tubi. Selamat Tahun Baru….

Leave a comment »

Biarlah Ku Kembalikan Cinta ini Pada-NYA


Oleh : Ahmad Muhammad Haddad Assyarkhan

“Di Sini Kita pernah bertemu, mencari warna seindah pelangi, ketika kau mengulurkan tanganmu, membawaku ke daerah yang baru, hidupku kini ceria….”
( Untukmu Teman-Brothers)
Matanya berkaca-kaca ketika laki-laki itu selesai membaca dan merenungi isi mushaf di tangannya shubuh itu. Dulu sekali laki-laki itu telah pernah berharap pada seorang perempuan yang dia yakin perempuan itu sangat mencintai dan menyayanginya, ada kilasan-kilasan di hatinya yang mengatakan bahwa mungkin dialah sosok yang selama ini dicari…dialah sosok yang tepat untuk mengisi hari harinya kelak dalam bingkai pernikahan.
Berawal dari sebuah pertemuan dan terjalinlah persahabatan. Berdiskusi tentang segala hal, terutama masalah masa depan ummat islam. Berjalan seiring dalam tugas yang sama membina ummat. Laki-laki itu sedang berproses menjadi da’i, ya da’i muda yang di kenal di kota itu. Dan perempuan itu seorang aktivis muslimah yang juga berkarier sana sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Perempuan adalah aktivis muda yang enerjik, cerdas dan tentunya cantik, tidaklah heran jika menjadi perbincangan kaum adam. Laki-laki dan perempuan itu bersahabat, erat bahkan sangat akrab, mereka sepasang sejoli yang mempunyai minat yang sama, cita-cita besar yang sama dan lahan garapan dakwah yang sama. Sehingga kedekatan itu membawa semangat laki-laki itu itu untuk terus menggali potensi dirinya sebagai penyeru agama Allah ini. Kedekatan itu berlanjut menjadi kedekatan yang intens, berbagi cerita, curahan hati, saling meminta saran, saling bertelepon dan bersms, yang akhirnya segala kehadirannya menjadikan suatu kebutuhan. Kesemuanya itu mengatasnamakan persahabatan.
 “Pertemuan kita disuatu hari, menitikan ukhuwah yang sejati, bersyukur kehadirat ilahi diatas jalinan yang suci….”
(Doa Perpisahan-Brothers)
 Sesungguhnya di hati masing-masing telah tergores sebuah rasa. Ya …..rasa Cinta yang begitu dalam. Laki-laki itu begitu sering ke tempat kost sahabatnya ini, tentunya seizin ibu kost yang juga merupakan ibu angkat dari sahabatnya ini. Dan kembali mereka saling curhat dan berbagi cerita. Ada gelak tawa dan canda di sana. Dan perempuan itu tampak begitu “cinta” kepada sang laki-laki itu, tampak dengan jelas perempuan itu sering mengunjungi tempat kerja bahkan rumah sang laki-laki. Perempun itu sangat baik bahkan terlalu baik bagi laki-laki itu. Ia sering memberi bahkan di saat tidak di pinta sekalipun. Dan selalu siap kapan saja sang laki-laki itu membutuhkan kehadirannya. Mereka memang berdua dan selalu berdua, Bersama anak-anak didik mereka. Mereka terus berdua dan tetap dalam kata persahabatan. Mereka berdua menyimpan ‘rasa’ itu, mereka saling menyimpan rahasia hati mereka masing-masing, mereka berdua baru bisa memperlihatkan pada aktivitas memberi dan menerima. Sedangkan rasa itu tetap terpendam di lubuk yang paling dalam dihati mereka masing-masing. Mereka memahami ‘rasa’ itu tidak boleh terungkap karena takut terjebak dalam hubungan yang tidak dihalalkan syariat. Mereka memahami itu dan memegang kokoh nilai-nilai ini. Dan rasa itu memang hanya ada di hati mereka masing-masing. Hanya Allah dan mereka sendiri yang tahu kalau mereka saling mencintai. “Mengapakah Kita di temukan dan akhirnya di pisahkan, mungkinkah menguji kesetiaan, kejujuran dan kemanisan iman, Tuhan berikan daku kekuatan…..”
(Untukmu Teman-Brothers)
 Sampai suatu hari, laki-laki itu berat hati meninggalkan kota itu meninggalkan kota kelahirannya itu. Mungkin ini merupakan doa’nya yang di kabulkan Tuhan, dimana ketika di sebuah sore dengan kondisi hujan yang sangat lebat, seakan-akan langit menumpahkan seluruh airnya. Diatas sebuah sepeda dan dalam keadaan basah kuyup ia memenuhi janji bertemu dengan perempuan sahabatnya itu. Dan ketika itu ia berdoa sambil berurai air mata ” Ya ALLAH jika sahabatku ini adalah jodoh hamb segerakan pernikahan hamba dengannya dan permudah urusan pernikahan itu, tetapi jika bukan jodoh hamba ya Allah, bawalah hamba pergi jauh dari kota ini”. “Namun kini perpisahan yang terjadi, dugaan yang menimpa diri, bersamalah diatas suratan, kutetap pergi jua…..”
(Doa Perpisahan-Broters)
 Di halaman rumahnya. Di saksikan kedua orang tua dan adik-adiknya serta sahabatnya dia mengucap pamit untuk berlayar ke negeri seberang. Dari awal sampainya laki-laki itu di tempat tujuan, mereka masih saling berkomunikasi, sang perempuan begitu memperhatikan keadaan laki-laki itu, ia menanyakan dimana tinggal dan bagaimana keaadan diri sang sahabat, dan begitulah cinta, ada perhatian dan kasih sayang. Namun sayang semuanya masih terpendam. Terpendam di hati yang sangat dalam. Dari sms dan telpon terlihat jika perempuan itu masih berharap dan menunggu laki-laki itu kembali ke kotanya. Perempuan itu tetap curhat dan berbagi cerita tentang kondisi di kota kelahiran laki-laki itu. Ia bercerita bahwa ia belum bisa menemukan sosok partner kerja seikhlas laki-laki sahabatnya itu, dan terkadang sebuah harapan agar laki-laki sahabatnya itu cepat kembali. Dan sungguh, baik laki-laki dan perempuan itu tidak pernah lagi membuka hatinya untuk yang lain. ” Kini dengarkanlah, dendangan lagu tanda ingatanku, kepadamu teman, agar ikatan ukhuwah kan bersimpul padu, kenangan bersamamu, tak akan kulupa walau badai melanda, walau bercerai jasad dan nyawa…”
(Untukmu Teman-Brothers)
 Laki-laki itu menyadari kalau sebenarnya kepergiannya itu adalah sebuah doanya yang terkabul. Tetapi hatinya goyah ingin kembali dan menyatakan isi hatinya pada perempuan itu, ia ingin meminang sang bidadari. Dia ingin bidadari itu menjadi kekasihnya seumur hidup. Tapi….begitu berat juga hati agar tidak kembali, dia teringat teman-teman aktivis yang lain begitu memuji sahabat perempuannya ini, begitu banyak teman-temannya berharap dapat mempersunting sang sahabat perempuannya ini….Air matanya jatuh perlahan dalam sujud panjangnya dikegelapan malam… Dia berjanji untuk melupakan semua kenangan di kota kelahirannya. Dia tidak ingin mengisi hari- harinya dengan kesia-siaan.
“Lalu bagaimana dengan harapan perempuan terhadap sahabat laki-lakinya ini?
Hingga suatu ketika di malam sepuluh terakhir ramadhan setahun yang lalu laki-laki itu mendapat sms yang begitu memilukan hatinya
“Abang, Sungguh, adek berharap bisa menjadi bidadari yang mendampingi hidup abang, apapun adanya abang”. Ohhh…..Tuhan, mengapa ini terjadi di saat aku berusaha melupakan cintaku pada perempuan sahabatnya. Kembali air mata membasahi sajadah di sholat malamnya…..mengadu kepada sang pemilik cinta untuk menuntaskan gejolak hati ini.  Hingga suatu hari……
Laki-laki itu mendapat tawaran menikah dari seorang yang tidak pernah di kenal sebelumnya hanya karena dia sering menulis artikel di http://www.myquran.com, begitu berat ia mau menerimanya sedangkan orang yang belum di kenalnya menunggu jawabannya. Dan akhirnya melalui ustadznya proses ta’aruf, khitbah dan menikah begitu mudah, lancar dan tidak ada satupun hambatan. Dan itulah JODOH, yang tidak dapat di pungkiri kebenarannya. Allah yang memberikan keputusan ini dan berakhirlah drama hati dua sejoli itu. Sepasang sahabat yang memendam cintanya demi sebuah syariat yang sangat mereka junjung tinggi.
Tuhan, Aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa, yang salah hanyalah persepsi dan harapan yang terlalu berlebihan dari kedekatan itu, dan proses interaksi yang terlalu dekat sehingga timbul gejolak dihati…. Biarlah hal itu menjadi proses pembelajaran dan pendewasaan bagiku untuk lebih hati-hati dalam menata hati,” gumamnya pada suatu waktu. Dan begitu juga harapannya pada perempuan sahabatnya, agar bisa menerima keputusan dari ALLAH ini.
 Dunia laki-laki itu kini adalah dunia penuh cinta dengan warna-warna jingga, tawa-tawa pelangi, pijar bintang dimata istrinya yang menjadi pendamping hidupnya kini…Sebuh cinta yang suci dialiri ketulusan yang dianugrahkan ALLAH kepadanya…sebuah cinta yang tidak pernah kenal surut dan batas, dan yang paling kekal adalah cintanya pada Illahi yang selalu mengisi relung-relung hati..tempatnya bermunajat disaat suka dan duka… Indahnya hidup dikelilingi dengan cinta yang pasti.
Adakalanya ia ingat pada sahabatnya. Apakah sahabatnya ini akan memakinya, tidak, laki-laki ini yakin sahabatnya tidak demikian, bukankah mereka tidak pernah saling menucap cinta, mereka tidak pernah berikrar untuk saling menyayangi sebagai kekasih, Sehingga…. saat bayangan sahabatnya itu pun hilang begitu saja…dan masih adakah setangkup harapan agar dia kembali? Laki-laki itu yakin Allahlah yang memiliki taqdir itu, walaupun terlalu banyak kebaikan sang sahabat …akan ada seribu kata terima kasih untuknya demikian juga jika ada kata-katanya yang menyakitkan hati…. akan selalu ada beribu kata maaf untuknya….”
 Sahabatku, Jangan Kau Nanti lagi kehadiranku, bukan berarti aku tidak mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu walaupun tidak pernah ku ungkapkan langsung padamu, biarkanlah ALLAH menjalankan skenarionya, dan kita hanya menjalankan skenario dari-Nya itu, maafkan aku yang mungkin telah membuat dirimu menaruh harap, walau tidak pernah terucap dibibirku, karena kau memang sahabat sejatiku, teman berbagi cerita, selamat berpisah, doakan aku sahabat agar tetap istiqomah di jalan-Nya, dan aku akan selalu mengenangmu” Desah Laki-laki itu “Jikapun suatu saat nanti ternyata kita tetap di pertemukan dalam cinta kasih yang suci, jangan dipikirkan semua itu, semuanya Hak Allah, biarkan Dia saja yang mengaturnya, jangan kau tutup pintu hati untuk yang lain, terima pinangan lelaki yang shalih dan jangan sekali-kali kau menolaknya karena kau akan mendapat fitnah karenanya demikian sebagaimana yang dikatakan Nabi 14 abad yang lalu. Jangan mengorbankan diri pada hal yang sia-sia sahabatku” Demikian tulinya di Diari.
“Mungkinkah telah terlupa, Tuhan ada janjinya, bertemu dan perisah adalah matan kasihnya, andai ini ujian terangilah, tambah kesabaran, pergilah Jelita..Hadirlah cahaya……”
(Untukmu Teman-Broters)
 Masih ada sejuta asa dan makna, yang akan tetap bercahaya, sahabat
“Lalu… bagaimana dengan cinta kita yang dulu pernah ada?
Laki-laki itu berkata ” Biarkan cinta ini kukembalikan kepada pemilik-Nya. Dan tiadalah berdosa mencintai karena ini fitrah sebagai manusia, Sahabatku, di saat yang tepat nanti ALLAH telah menyiapkan pengeran cinta untukmu dan tentunya yang terbaik, biarlah airmata ini mengiringi doa perpisahan kita….Teruskan Perjuangan…..ALLAHU AKBAR!!
 “Teman…….betapa pilunya hati ini, menghadapi perpisahan ini, pahit manis perjuangan telah kita rasa bersama, semoga ALLAH meridhai persahabatan dan perpisahan ini….teruskan perjuangan….”
(Doa Perpisahan-Broters)
 “Kan Kuutus salam ingatanku dalam doa kudusku sepanjang waktu, ya ALLAH, bntulah hambamu, snyuman yang tersirat dibibirmu, menjadi ingatan setiap waktu, tanda kemesraan yang bersimpul padu kenangku di dalam doamu, semoga ALLAH berkatimu…..”
(Doa Perpisahan-Broters)
 Pesan Penulis :
” Sebuah Oretan Hati buat mereka yang pernah mengalami hal yang sama, semoga tulisan ini menjadi pengingat kita, terkadang persahabatan yang tidak di landasi syariat akan berbuah hubungan yang tidak di halalkan oleh syari’at, buat seorang sahabat yang pernah menjadi partner sejati dalam perjuangan dakwahku selama di Kalimantan, teruskan perjuangan, jangan mengeluh dan temukan lagi sahabat baru yang lebih hebat, semoga sebuah tulisan “Aku kan tetap Pergi, Bidadari” di komputerku telah antum temukan dan dapat mengambil manfaat dari tausyiahku di sana ”
 

Leave a comment »

Kabar dari kamung

 Oleh Sabrul Jamil

Dulu, negeri Ulakan dikenal sebagai daerah yang pernah menghasilkan ulama. Mungkin salah satu yang paling terkenal adalah Syekh Burhanudin. Beliau adalah salah satu penyebar agama Islam di ranah Minang. Makam beliau terdapat di Ulakan, salah satu daerah di Pariaman, Sumatera Barat.
Dulu, terasa ada kebanggaan yang terselip setiap kali Ayah menceritakan kisah-kisah Syekh Burhanudin. Juga ada kebanggaan bahwa ulama itu dimakamkan di kampung Ayah. Ayah akan bercerita dengan bangga, dan si Orang Muda pun mendengarkan dengan kagum cerita ayahnya.

Dulu, sejak lama si Orang Muda memahami bahwa bagi orang Minang berlaku kalimat, Adat Bersendi Syara’ dan Syara’ Bersendi Kitabullah. Artinya, sendi-sendi adat di ranah Minang adalah syariat (syara’), dan syariat mengacu kepada Kitab Allah, yaitu AlQuran. Dengan sendirinya sejak kecil ia sudah mengidentikkan antara Minang dengan Islam. Dan seluruh adat yang berlaku di Minang pasti ada referensinya kepada AlQuran. Demikian kesimpulan sederhana si Orang Muda ketika kecil.

Namanya tidaklah semulus itu. Sebagaimana dulu manusia menyangka bahwa bulan itu mulus, namun kemudian baru diketahui bahwa permukaan bulan ternyata penuh dengan jurang-jurang bekas hantaman berbagai benda langit. Demikian pula halnya bergesernya anggapan Si Orang Muda terhadap kampung halaman ayahnya.

Ketika usia belasan tahun, Si Orang Muda pernah mengunjungi tanah kelahiran ayahnya tersebut. Waktu itu Kakek Neneknya – yaitu orang tua dari ayahnya – masih hidup. Dalam kepulangannya kali itupun, yaitu sekitar pertengahan tahun 80-an, ia sudah merasakan nuansa keIslaman yang tipis. Indikatornya sederhana saja. Setiap masuk waktu sholat, Surau (bahasa lain Musholla), hanya diramaikan segelintir orang tua. Jangan tanya ke mana orang-orang mudanya. Keadaan masih lumayan karena setiap Maghrib masih ada anak-anak kecil yang belajar mengaji.

Namun pelajaran mengaji saat itu pun tidak bisa dibandingkan dengan keadaan waktu ayahnya kecil dahulu. Dahulu, setiap anak lelaki, terbiasa bermalam di Surau. Setiap orang lelaki dewasa pun terbiasa menghabiskan waktu Maghrib sampai Isya di Masjid. Bandingkan dengan sekarang, di mana setiap anak lebih terbiasa ‘beritikaf’ di depan pesawat televisi.
Di sisi lain, kemakmuran terlihat jelas di mana-mana. Kita tidak lagi bisa menemukan rumah yang berdinding kayu. Semua rumah sudah berdinding beton. Kendaraan roda dua parkir di setiap halaman rumah.

Salah satu sumber penghasilan penduduk adalah arus kas yang masuk dari para perantauan. Kesuksesan sang anak yang merantau berbanding lurus dengan megahnya rumah orang tuanya di kampung. Sampai di sini, tentu hal itu patut disyukuri. Tak kita temukan fenomena Malin Kundang di kampung ini.

Ketika Ayah si Orang Muda pulang kampung pada awal tahun 2007 ini, keadaan sudah semakin tidak karuan. Ayah si Orang Muda menceritakan pengalaman pulang kampungnya dengan kemarahan tertahan, seperti api yang bersembunyi di balik timbunan sekam.

Beliau bercerita, ada satu ‘tradisi’ baru di kampung jika setiap kali ada acara hajatan. Entah siapa yang membawa, sekarang setiap acara pesta perkawinan atau sekedar sunatan, selalu ada organ tunggal. Sampai di situ mungkin belum jadi masalah. Biasanya tak cukup dengan organ tunggal, acara juga dimeriahkan dengan menggelar panggung pertunjukan. Dan acara favorit di panggung tersebut adalah acara dangdutan.

Para warga berduyun-duyun hadir menonton acara tersebut, bahkan ikut naik ke atas panggung dan bergoyang bersama artis-artis kelas kampung yang dandanannya menabrak adat dan agama sekaligus. Acara ini ‘dinikmati’ seluruh tingkat usia. Dan kelihatannya tak ada keberatan apa pun dari para tetua di sana.

Selain itu, ada juga acara ‘nyawer’. Yaitu suatu pertunjukan dangdut, oleh para artis lokal dengan dandanan seronok. Para penonton berdiri melingkar menyaksikan pertunjukan. Bagi yang berminat boleh ikut masuk ke lingkaran, dengan kewajiban menyelipkan uang di dada si artis tadi.
Dengan geram ayah si Orang Muda berujar, dahulu tidak pernah ada hal-hal seperti ini. Dan tidak terbayangkan jika kelak hal itu akan terjadi. Kegeraman yang bisa dipahami, walau tak banyak berandil bagi penyelesaian masalah.

Bahkan dengan sedih ayah si Orang Muda bercerita bahwa saat ini jamaah sholat Maghrib dan Isya hanya satu dua orang saja. Beliau tidak bercerita apakah pengajian anak-anak masih berlangsung atau tidak.
Mendengar seluruh cerita tadi, ditambah dengan kepingan-kepingan informasi yang ia peroleh sebelumnya, buyarlah segala bayangan indah si Orang Muda tentang kampung halaman nan indah permai. Bayangan tersebut pecah laksana cermin yang terhempas ke lantai. Tak ada lagi bayangan entang anak-anak berbusana rapi, pulang pergi mengaji. Tak ada lagi gambaran pemuda-pemuda tegap yang mengawal syari’at, atau pemudi-pemudi cantik yang dengan anggunnya menutup aurat.

* * * * *
Namun tidak semua cerita ayah bernada minor. Dalam salah satu kunjungan ke Bukit Tinggi, ayah-ibu si Orang Muda sempat bertamu ke rumah orang yang masih menjalankan sunnah dengan setia. Ceritanya, saat dihidangkan makan siang, tuan rumah tidak ikut makan. Dengan santun mereka mempersilakan para tamunya untuk menikmati hidangan, sementara mereka sendiri berpuasa.

Tentu timbul perasaan kurang enak campur kagum kepada orang-orang ini. Sosok mereka seperti seteguk air di tengah tanah yang mengering. Setidaknya, di tengah gulitanya malam yang paling pekat sekalipun, orang masih bisa berharap adanya gemerlap bintang.

* * * * *

Beberapa hari menjelang kepulangan kembali ke Jakarta, gempa menggoyang ranah Minang. Pariaman termasuk daerah yang tidak luput dari gempa, walau tidak termasuk yang paling parah. Dinding dapur rumah ayah si Orang Muda hancur, menimbun benda-benda yang ada di sekitarnya. Untungnya tak ada orang di sekitar tempat itu. Malamnya para penduduk tidur di teras rumah, atau bahkan di tempat terbuka guna mengantisipasi terjadinya gempa susulan. Gempa susulan memang terjadi lagi, walau tidak sekeras sebelumnya.

Jika kejadian ini tidak dimaknai sebagai teguran, dan hanya dianggap sebagai fenomena alam biasa, maka sungguh sudah tidak ada lagi keyakinan akan hak-hak Allah di tanah ini.

Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Al-An ‘am: 44)

Leave a comment »

Tempat untuk Bersujud

Oleh Delina

Adzan maghrib berkumandang sayup-sayup dari arah masjid. Semua orang yang sedang menikmati indahnya matahari terbenam bersama keluarga dari tepi Laut Merah segera beranjak dari tempat duduknya untuk mengambil air wudhu. Mereka berwudhu dengan air dari botol air mineral yang mereka bawa atau dibeli dari penjual makanan ringan dan minuman.

Beberapa pemuda tampak menggelar tikar dan sajadah untuk mempersiapkan sholat berjamaah. Anak-anak kecil yang sedang berkejaran, bermain ayunan, bermain bola, maupun sepeda segera dipanggil orang tuanya untuk melaksanakan sholat berjamaah.

Di kejauhan tampak pula sekelompok laki-laki dan juga perempuan yang bergantian melaksanakan sholat maghrib. Tidak ada alasan untuk menunda sholat hanya karena berada agak jauh dari masjid. Tidak ada yang menunda sholat dengan menunggu hingga tiba di rumah. Apalagi sholat maghrib sangat pendek waktunya. Semua melaksanakan kewajiban sholatnya di manapun mereka berada, begitu adzan tanda waktu sholat menggema. Disebutkan di dalam Hadist Riwayat Muslim, “dan di mana saja kamu berada, jika waktu sholat telah tiba segera sholatlah, karena bumi ini adalah masjid (tempat bersujud)”.

Begitulah pemandangan sehari-hari yang selalu saya lihat di Kota Jeddah ini. Meskipun bukan Kota Makkah atau Madinah, namun nuansa Islamnya masih terjaga. Masjid-masjid tidak hanya penuh di saat Jum’atan, atau Bulan Ramadhan saja. Apabila adzan terdengar, semua urusan maupun perdagangan berhenti sementara. Pegawai toko segera menutup tokonya, rumah makan menutup tirai dan pintunya, demikian pula tukang buah dan sayur di pinggir jalan meninggalkan dagangannya begitu saja tanpa takut ada yang mengambil buah atau sayurannya.

Para pembelipun harus bersabar menunggu di luar toko atau sholat di tempat sholat yang sudah disediakan. Tempat shalat yang disediakan pun kalau tidak ada ruangan khusus, disediakan gulungan karpet sajadah di dalam pusat perbelanjaan. Sayapun sebagai pembeli pernah suatu saat ketika sudah antre panjang di depan kasir, waktu sholat tiba. Kasir pun sudah tidak mau melayani lagi padahal sudah tiba giliran saya. Akibatnya barang yang sudah saya letakkan di meja kasir terpaksa saya batalkan.

Selain supermarket dan rumah makan, biasanya pengunjung harus keluar dari dalam toko bila waktu sholat tiba. Mereka begitu tertib. Meskipun ada juga toko yang terkadang sedikit nakal dengan terus melayani pembeli hingga ditegur oleh polisi agama. Atau pembeli yang sedikit memaksa untuk dilayani karena sudah terburu waktu. Namun umumnya para penjual menolak melayani lagi karena sudah tiba waktu sholat. Mereka tidak takut rugi karena kehilangan pembeli. Subhanallah. Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan baginya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Ankabut:62)

Tidak hanya tertib sholat yang saya kagumi, tetapi juga ketaatan dalam membaca Al-Quran. Di pasar-pasar sering saya lihat penjual yang membaca atau menghafalkan Al-Quran sambil menjaga barang dagangannya. Sungguh saya sering merasa malu dengan diri sendiri, dengan ketidakkonsistenan saya dalam menghafal Al-Quran dan memahami maknanya. Saya pun pernah disindir oleh penjual jam tangan ketika saya sedang mengantarkan saudara yang akan membeli jam tangan di salah satu toko. Saat itu saya bilang saya tidak bisa berbahasa Arab (meskipun sudah belajar mati-matian) dan meminta dia menggunakan bahasa Inggris saja. Dia bertanya pada saya. “Are you Moslem?”. “Do you read Quran?”. Ya dalam pemahaman dia, seharusnya seorang Muslim dapat berbahasa Arab karena itu adalah bahasa Quran.

Alangkah tentramnya bila kita bisa melaksanakan ibadah sholat maupun membaca Al-Quran di tempat umum di negara kita ini tanpa harus bersembunyi di pojok ruangan karena malu terlihat orang lain (takut dikira sok alim).

Alangkah indahnya bila tempat shalat yang disediakan buat kita adalah tempat yang bersih dan harum bukan di basemen tempat parkir mobil yang panas dan bising serta berbau asap kendaraan. Aisyah RA menyatakan, “Rasulullah SAW pernah menyuruh mendirikan masjid di kampung. Juga menyuruh supaya membersihkannya dan memberinya harum-haruman, ” (HR Imam yang lima, kecuali Nasa’i).

Alangkah nikmatnya bila kita dapat membiasakan sholat ataupun membaca Al-Quran di manapun kita berada. Di ruang tertutup ataupun terbuka. Sebab bumi ini adalah tempat untuk bersujud

Leave a comment »

Sebuah Email tentang Rumah Tuhan

Sebuah e-mail tiba di PC saya. Isinya tentang pengalaman seorang pekerja asing. Ceritanya, pekerja asing itu tiba untuk pertama kalinya di salah satu perkantoran megah di kawasan Jakarta. Usai memarkirkan mobilnya di basement, ia melihat sekelompok orang, laki dan perempuan, tengah melakukan suatu kegiatan yang aneh di matanya, di salah satu ruangan di basement tersebut. Ruang tersebut kecil dan pengap, dengan tembok rendah mengelilinginya.

Sesampainya di atas, orang asing ini bertanya tentang apa yang dilihatnya barusan. Orang Indonesia yang kebetulan muslim menjelaskan bahwa orang-orang di basement tersebut sedang sholat, menyembah Allah, Tuhan umat Islam. Sholat adalah kewajiban yang dilaksanakan sehari lima kali.

Dengan takjub orang asing itu menjawab, betapa rendahnya apresiasi umat Islam terhadap Tuhan mereka. Jika terhadap ia yang cuma manusia bisa disediakan tempat kerja yang lapang dan nyaman, mengapa untuk Tuhan mereka hanya tersisa sebuah ruangan pengap di basement?

Pembaca, tidakkah keheranan orang asing itu menjadi keheranan kita juga?

* * * * *

Suatu sore, di salah satu gedung tinggi di kawasan matraman. Setelah menyelesaikan suatu urusan, saya bertanya ke salah satu karyawan di gedung megah tersebut letak musholla. Sudah lewat pukul empat sore. Karyawan tadi, penuh semangat, menunjukkan letak musholla. Dengan berterima kasih, saya bergegas mengikuti arah yang ditunjukkan. Saya melewati areal parkir yang pengap, suatu kantor yang saya perkirakan markas satpam (banyak satpam yang duduk-duduk di depan kantor tersebut, dengan uniform berantakan), dan sampailah saya ke gedung mungil, dengan tulisan kusam tertempel di salah satu temboknya: MUSHOLLA.

Musholla ini terletak persis di belakang gedung tinggi yang baru saja saya tinggalkan. Ukurannya tak lebih besar dari ruang tamu rumah saya. Temboknya setengah terbuka, dan dimanfaatkan untuk meletakkan sajadah-sajadah, dan… Helm!

Di ruang yang sempit itu ada seseorang yang tertidur pulas. Tempat wudhu terletak tak jauh dari situ. Ada dua kran. Akhirnya, di naungi suasana pengap dan beraroma kurang sedap, saya menunaikan kewajiban saya kepada Rabb Penguasa Jagat. Ada rasa malu yang tak terkatakan, hanya sebegini apresiasi saya kepada Mu, ya Allah.

Saya pulang, meliuk-liuk melewati kemacetan pinggiran kota, dengan setumpuk pikiran di kepala. Sudah berapa kali saya dapatkan, sebuah gedung perkantoran megah, dengan tempat sholat yang mirip dengan gudang?

Karena tuntutan pekerjaan, saya sering keluar masuk kampus dan perkantoran. Dan situasi seperti ini sudah seperti typical: gedung megah, tinggi, dengan lobby dan ruang kerja yang nyaman, namun tak menyisakan satu ruangan pun untuk sholat, suatu ibadah yang nabi katakan sebagai tiang agama. Sebagai gantinya, pihak perkantoran menyediakan tempat sholat di basement, di sela-sela parkir kendaraan. Atau sebaliknya, tempat sholat sering diletakkan di bagian tertinggi gedung, seperti di kantor saya. Ini masih lumayan, karena tempatnya terbuka, sehingga angin dan debu jalan leluasa menerobos. Setidaknya, sholat tidak dilakukan dalam keadaan pengap.

Tentu ada juga gedung-gedung perkantoran yang menyiapkan tempat sholat yang memadai, meski tidak harus mewah. Gedungnya terawat. Sajadah dan mukena secara teratur dibersihkan. Majalah dindingnya secara berkala diupdate.

Pembaca yang baik, sholat adalah sejenis ibadah yang menuntut konsentrasi tinggi. Konsentrasi ini adalah awal kekhusyuan. Dengan khusyu’-lah kualitas sholat diperoleh.

Nah, konsentrasi tentunya memerlukan daya dukung lingkungan. Lingkungan yang bising, pengap, beraroma kurang sedap, secara sunnatullah, akan mengurangi konsentrasi. Rasulullah pernah menolak sajadah yang bergambar, karena khawatir akan mengganggu konsentrasi beliau. Beliau juga memerintahkan imam untuk menyegerakan sholat apabila terdengar suara anak menangis, karena khawatir si ibu akan merasa resah dalam sholatnya.
Selain itu, beliau juga secara optimal membersihkan diri. Salah satu sunnah beliau sebelum sholat adalah bersiwak (menggosok gigi), dan memakai harum-haruman.

Dari situ kita simpulkan, salah satu syarat khusyu’ diperoleh dari situasi dan kondisi ketika sholat. Dilakukan. Terlalu arogan kalau kita menganggap situasi dan kondisi tidak mempengaruhi kekhusyuan sholat kita.

Bagaimana sholat yang dilakukan di tempat-tempat seperti yang saya gambarkan di awal tulisan ini? Saya khawatir pelaksanaan sholat tersebut hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban.

Sesungguhnya, yang bertanggung jawab memakmurkan masjid adalah seluruh orang beriman yang berada di wilayah masjid tersebut. Bagaimana cara mewujudkan tanggung jawab tersebut?
Mungkin, yang pertama kali harus dibangun adalah kesadaran. Kesadaran diperoleh setelah adanya informasi, bahwa Masjid bukanlah sekedar bangunan pelengkap.

Siapa yang harus memulai?

Setidaknya, Anda, setelah membaca tulisan ini, mulai menyusun gagasan praktis, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi di tempat Anda (kecuali kalau Masjid di tempat Anda sudah representatif untuk beribadah). Jadikan ini sebagai peluang amal. Siapa tahu dapat menjadi jalan lain bagi kita untuk bertemu dengan senyumNya.

Leave a comment »

Tersenyum Ketika Seharusnya Menangis

Oleh Dikdik Andhika Ramdhan

Sebuah pintu kaca itu terbuka, aku hentakkan langkah di atas lantai berlapiskan karpet beludru itu. Pancaran air conditioner segera menyergap tubuh ini, memancarkan kesejukan setelah diri ini disuguhi panasnya udara di luar sana. Sejuk. Dan kini aku mampu menghirup sebuah kesegaran baru yang kini mulai menggelayuti seluruh raga ini.

Sebuah sapaan hangat sesaat kemudian telah menanti diri di depan sebuah meja front office sebuah gedung megah disatu titik kota Jakarta. Sebuah senyuman tak terlewatkan mengiringinya.

“Selamat pagi mas, apa kabarnya?”

Terasa santun di telinga ini, gaya bicaranya layaknya seorang yang telah begitu akrab dengan kami para pengunjung setia gedung tersebut. Tanpa beban, tanpa gurat kesedihan ataupun juga garis kepiluan dalam setiap tutur kata dan bicaranya.

Meskipun aku tak pernah tahu di balik semua itu, di balik senyumannya, di balik santun bicaranya, dan di balik keakraban gaya sapaannya. Hanya do’a semoga memang mereka senantiasa berada dalam kondisi yang sama antara apa yang tampil di raut muka dengan apa yang ada dalam hati serta pikir mereka.

Mungkin satu waktu kita bisa memahami bahwa itu memang sebuah tuntutan profesionalitas pekerjaan yang diamanahkan kepada mereka. Untuk bisa tersenyum disaat mungkin kesedihan melandanya. Untuk bisa ceria disaat kepedihan menghantui sanubarinya. Dan secara tidak langsung ternyata memang itupun yang selalu kita tuntut hadir dari mereka, meski hanya untuk sekedar memberikan satu penghibur jiwa, disaat segala masalah berderet menjadi satu pasukan yang datang silih berganti ke dalam gerbang diri ini.

Namun satu tanya adalah, pernahkah diwaktu yang sama kitapun mencoba untuk mengerti mereka?, bukankah selayaknya kitapun mengerti bahkan memahami bahwa merekapun tak beda memiliki apa juga yang kita miliki baik itu hati ataupun jiwa. Yang setiap saat bisa luluh dan tersimpuh dalam segala dera masalah yang ada.

Teringat sebuah buku yang mengisahkan tentang mereka yang bernasib sama. Di mana lagi-lagi sebuah tuntutan profesionalitas kerja memaksa untuk dapat mampu berbuat seperti itu. Di mana bibir tersenyum walaupun sebenarnya hatinya menangis.

Namun yang menjadi satu ironi adalah apakah layak keberhasilan mereka untuk dapat menjaga penampilan mereka dihadapan kita, memberikan satu kecerian dalam hari-hari kita, memberikan satu kesan kesejukkan dalam rona-rona masalah yang ada dengan tetap berusaha tersenyum ramah kita nilai bak sebuah nilai kemunafikan? Sebuah nilai penipuan berhiaskan tebar pesona?

Sesaat diujung pelupuk mata ini terasa basah dengan sebuah tetes air mata.

Bukan karena aku terlalu lemah untuk menerima pandangan mereka. Bukan karena aku merasa kalah dengan segala sudut pandang mereka yang berujar demikian. Ataupun bukan karena aku terlalu egois untuk mempertahankan sebuah cara pandang dan emosi diri ini.

Aku hanya berpikir, begitu naifnya kita yang dengan mudahnya menghunjamkan sebuah tusukkan atas segala kesabaran mereka dengan sebuah umpat atau cibiran untuk menguatkan ungkapan bahwa mereka orang-orang yang pandai bermunafik ria. Pandai bermuka dua. Bahkan pandai membolak balikkan fakta.

Padahal bukankah ia, sang Iman Ali bin Abi Thalib -pun penah berpesan pada kita, untuk bisa selalu berbuat sesuatu yang dapat menggembirakan orang lain sebagaimana yang kita harapkan pula hal itu datang pada diri kita?

Jika memang demikian, maka bukankah selayaknya mereka juga telah memberi satu tauladan bagi kita untuk senantiasa berbuat yang sama. Menampilkan diri tetap ceria meskipun deru masalah masih tetap menggelayuti asa kita.

Semoga kita dapat dapat senantiasa mengambil satu demi satu hikmah dari setiap apa yang kita lalui. Sehingga kehidupan yang mengiringi langkah ini senantiasa berbuah barokah.

Aamiin yaa robbal’alamiin

Leave a comment »

Teguran untuk Berinfaq

Oleh Muhammad Rizqon

Curah hujan beberapa hari terakhir ini terasa cukup tinggi. Hujan hampir terjadi setiap hari dengan durasi yang cukup panjang. Terkadang, hujan reda untuk beberapa saat, namun kembali turun beberapa saat kemudian. Banjir telah terjadi di beberapa kawasan, dan kekhawatiran bakal terjadi banjir besar makin terasa.

Suatu hari saya hendak pergi ke suatu tempat di sekitar Pasar Rebo. Di tengah kondisi cuaca yang lagi kurang bersahabat itu, saya putuskan naik angkot saja. Kebetulan lokasi tujuan bisa dicapai dengan sekali naik angkot saja jurusan Kampung Rambutan.

Hari masih reda dari hujan ketika saya berjalan menuju jalan raya. Tidak lama kemudian datanglah sebuah angkot dengan tempat duduk bagian depan yang masih kosong. Alhamdulillah, saya mendapatkan posisi tempat duduk di depan yang saya idamkan, sehingga saya bisa leluasa menyaksikan pemandangan di sepanjang perjalanan.

Di sepanjang perjalanannya, Sang Supir berhenti beberapa kali menaikkan dan menurunkan beberapa penumpang. Ketika sampai di Tamini Square, turunlah seorang gadis, berperawakan gemuk namun berwajah masih kekanakan. Saya kira seusia SMP atau awal SMA. Di tangannya tergenggam sebuah handphone. Ia menyodorkan selembar uang biru (lima puluh ribuan) kepada Sang Supir,

“Bang, ini Bang!” ujarnya.

Bang Supir menerima uang biru limapuluh ribuan dan memeriksa uang yang diperolehnya apakah cukup kembaliannya atau tidak. Sementara itu, sang gadis menunggu uang kembalian sambil memainkan keypad handphonenya.

“Uang kecil aja neng, ngga ada kembaliannya. ” Sang Supir menyodorkan kembali uang biru itu, namun langsung dibalas dengan sahutan cepat dari sang gadis,

“Ngga ada bang!”

“Tukar aja dah di situ, saya pinggirin dulu mobilnya. ”

Di depan Tamini Square itu saya beberapa pedagang minuman dan asongan. Supir itu memberitahu gadis itu agar menukaran uang birunya ke sana. Sebentar kemudian, gadis itu kembali dan berujar,

“Ngga ada Bang!”

Dia berkata seakan menyerah padahal saya lihat dia belum berusaha optimal mencari orang yang bisa ditukar uangnya. Maka tak pelak lagi, Sang Supir dhuafa yang membutuhkan uang itu merebut uang biru itu kembali,

“Sini dah saya tukarin!”

Ia mematikan mesin mobil, turun kemudian berjalan ke arah rekan-rekan Supir yang kebetulan lagi nge-team atau sedang berhenti menurunkan penumpang. Sayangnya, tidak ada dari mereka yang memiliki uang kecil sejumlah uang biru itu. Karena gagal, sang Supir pun kembali naik ke mobilnya, menghidupkan mesin dan menyerahkan kembali lembar uang biru itu kepada si gadis.

“Ini dah, ngga usah bayar aja daripada susah!”

Anehnya gadis itu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun langsung ngeloyor pergi. Sang Supir pun mulai mengeluh. Apa mau dikata, ia memang baru narik mobil dan baru mengumpulkan beberapa puluh ribu saja.

Demi menghiburnya aku mencoba menimpali,
“Bang emang berapa ongkos yang seharusnya dia bayar?” Saya bertanya lugu, maklum saya jarang menggunakan angkot dan di mobil pun tidak terpasang rute beserta ongkos seperti yang pernah saya lihat.

“Tiga ribu. ” Supir itu menjawab.

“Sering kejadian seperti itu Bang!?” Saya bertanya dengan maksud apakah sering terdapat penumpang yang membayar dengan uang besar kemudian tidak ada kembaliannya.

“ Kalau dah lama nariknya sih, ada aja kembalian. Ini kebetulan aja baru narik. Wah lumayan juga kalau tiga kali kejadian sudah sepuluh ribu. ”

Saya kembali diam. Sang Supir melanjutkan perjalanannya. Dalam hati saya berenung, uang sejumlah itu (tiga lembar ribuan), bagi orang tertentu memang kelihatan kecil. Tapi saya merasakan uang itu sangat berarti baginya. Buktinya, sejak awal ia meminta gadis itu menukarkannya dengan kecil kecil, ia juga sudi meminggirkan mobil demi menunggu gadis itu. Kemudian tatkala gadis itu gagal mendapatkannya, ia rela turun dari mobil dan menukarkannya sendiri dan membiarkan penumpang yang masih ada untuk menunggu. Sangat terasa, uang itu amat dibutuhkannya. Boleh jadi, uang itu cukup buat sekali makan menyambung kehidupan, atau cukup buat dibelikan mainan atau kue yang menyenangkan anaknya, atau cukup buat uang jajan sekolah anaknya untuk tiga hari, atau cukup untuk hal-hal yang bagi kita rasanya tidak akan cukup.

Ketika saya turun dan membayar tarif yang harus saya bayar. Saya tidak lupa menyertakan uang tiga ribu sebagai tambahan, untuk mengganti ongkos gadis yang tidak bisa membayar dengan uang birunya itu,

“Pak, ini yang tiga ribu buat ongkos Mba yang tadi. ”

“Oh, makasih ya Mas!”

Sang Supir tentu saja tidak menduga hal tersebut. Senyumnya sumringah dan matanya berbinar-binar. Saya berbalik menuju tempat tujuan dan membiarkannya tenggelam dengan kesyukuran. Sejumlah uang yang kadang kita begitu menyia-nyiakannya, ternyata mampu membahagiakan jiwa seseorang. Saya diingatkan akan adanya nilai tertentu selain nominal, yaitu nilai instrinsik yang saya terjemahkan dengan nilai keberkahan.

***

Waktu awal kejadian, ketika sang gadis menyodorkan uang biru itu dan Sang Supir mengatakan tidak mempunyai kembalian, sebenarnya saya sudah merasa ditegur untuk berinfaq kepada sang gadis yang tidak memiliki uang kecil itu. Namun entah kenapa hati ini tertahan untuk menghulurkan bantuan dan membiarkan kejadian itu mengalir apa adanya sehingga saya mengetahui ujungnya. Dan ternyata dengan membiarkan kejadian itu mengalir dan sampai pada ujungnya, saya mengambil beberapa hikmah kehidupan.

Pertama, berbuat baik itu membutuhkan pengorbanan. Saya merasakan tiadanya pengorbanan yang cukup kuat dari gadis itu untuk menyenangkan hati Sang Supir. Terbukti dia hanya mengunjungi satu penjual saja, padahal agak jauh dari situ ada beberapa penjual yang saya yakin memiliki uang kembalian. Saya memiliki pengalaman serupa ketika khilaf tidak membawa uang kecil karena terburu-buru, saya berusaha mencari uang kecil dengan cara membeli apa saja, entah minuman atau kue. Dan biasanya sang penjual pasti memiliki uang kembalian atau pasti mau mengusahakan uang kembalian.

Untuk membayar ongkos tiga ribu dan menyenangkan Sang Supir, boleh jadi akan keluar uang lebih banyak untuk menukarkan uang besar. Rasanya sayang. Tetapi alangkah lebih berdosanya jika sampai terjadi Sang Supir membebaskannya dari ongkos. Bukankah sama saja dengan meminta iba dari orang yang lemah? Padahal jika uang yang di belanjakan diniatkan untuk menyenangkan hati orang, dan disadari bahwa hal itu sudah menjadi ketentuan Allah Swt, maka tidak ada alasan untuk membelanjakannya demi mendapatkan uang kembalian.

Kedua, berempati menjadikan segala urusan lebih mudah. Andai sebelum keberangkatan sang gadis menyadari akan dampak tidak membawa uang kecil yang bisa menyulitkan orang lain, tentu sejak awal ia akan mempersiapkannya. Andai sang gadis menyadari betapa berharganya nilai tiga ribu rupiah bagi Sang Supir, tentu ia akan berusaha mencari uang kembalian. Namun semua itu tidak dilakukannya karena boleh jadi sensifitasnya masih rendah dan daya empatinya masih tipis. Barangkali dia memang masih kanak-kanak, jika bukan karena fisiknya tentu karena kematangan psikisnya yang masih seperti anak-anak.

Ketiga, berinfaq kadang berawal dari sebuah kejadian yang bisa jadi adalah wujud teguran dari Allah Swt untuk berinfaq. Betapa banyak kejadian yang mirip di atas yang mengharuskan seseorang menyodorkan uang, seperti adanya pengemis yang datang ke rumah, tukang ngamen yang datang ketika sedang makan di kaki lima, dan pengemis yang mencolek-colek minta belas kasihan ketika di pasar. Bagi sebagian orang, berinfaq kepada mereka bisa menjadikan mereka malas. Namun untuk melarang untuk orang berderma, rasanya bukanlah ajakan yang tepat. Pahala dari si dermawan tidaklah berkurang andaikan yang dikasihinya itu ternyata adalah bukan benar-benar dhuafa melainkan hanya berpura-pura. Sisi pandangnya haruslah dilihat dari si peminta-peminta itu. Hal ini lebih relevan dengan sisi ajaran Islam yang memandang hina pekerjaan meminta-minta, dan sangat menganjurkan untuk tidak menjadi peminta-peminta.

Jadi apapun bentuk mengharap belas kasihan baik secara langsung (seperti Supir) maupun tidak langsung (seperti pengemis), adalah wujud teguran Allah Swt bagi kita untuk berinfaq. Boleh jadi, hal itu adalah mekanisme Allah dalam pengaturan rezeki, di mana masing-masing rezeki itu telah memiliki alamat-alamatnya. Atau sebuah teguran bahwa harta kita masih ada hak orang lain yang harus ditunaikan, atau boleh jadi wujud belai kasih Allah Swt sehingga dimudahkan pintu-pintu untuk berbuat kebajikan.

Dan bagi saya kejadian itu adalah wujud teguran, yang biasa berdimensi dua hal sekaligus, yaitu teguran untuk berinfaq dalam rangka membersihkan hati atau teguran untuk berlomba memanfaatkan pintu kebajikan.

Semoga Allah Swt selalu memudahkan kita untuk senantiasa berinfaq. Amin.

Waallahua’lam.

Leave a comment »

Mengeluh

Sebuah kata sederhana yang mungkin jarang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi seringkali kita praktekkan langsung baik secara sadar maupun tidak sadar. Beberapa waktu lalu saya berkumpul dengan teman-teman lama saya. Seperti biasanya kami membicarakan mengenai pekerjaan, pasangan hidup, masa lalu, dan berbagai macam hal lainnya.

Setelah pulang saya baru tersadar, bahwa kami satu sama lain saling berlomba untuk memamerkan keluhan kami masing-masing seolah-olah siapa yang paling banyak mengeluh dialah yang paling hebat.

“Bos gue kelewatan masa udah jam 6 gue masih disuruh lembur, sekalian aja suruh gue nginep di kantor!”
“Kerjaan gue ditambahin melulu tiap hari, padahal itu kan bukan “job-des” gue”
“Anak buah gue memang bego, disuruh apa-apa salah melulu”.

Kita semua melakukan hal tersebut setiap saat tanpa menyadarinya.
Tahukah Anda semakin sering kita mengeluh, maka semakin sering pula kita mengalami hal tersebut. Sebagai contohnya, salah satu teman baik saya selalu mengeluh mengenai pekerjaan dia. Sudah beberapa kali dia pindah kerja dan setiap kali dia bekerja di tempat yang baru, dia selalu mengeluhkan mengenai atasan atau rekan-rekan sekerjanya.
Sebelum dia pindah ke pekerjaan berikutnya dia selalu ribut dengan atasan atau rekan sekerjanya. Seperti yang bisa kita lihat bahwa terbentuk suatu pola tertentu yang sudah dapat diprediksi, dia akan selalu pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan berikutnya sampai dia belajar untuk tidak mengeluh.

Mengeluh adalah hal yang sangat mudah dilakukan dan bagi beberapa orang hal ini menjadi suatu kebiasaan dan parahnya lagi mengeluh menjadi suatu kebanggaan. Bila Anda memiliki dua orang teman, yang pertama selalu berpikiran positif dan yang kedua selalu mengeluh, Anda akan lebih senang berhubungan dengan yang mana? Menjadi seorang yang pengeluh mungkin bisa mendapatkan simpati dari teman kita, tetapi tidak akan membuat kita memiliki lebih banyak teman dan tidak akan menyelesaikan masalah kita, bahkan bisa membuat kita kehilangan teman-teman kita.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kita mengeluh? Kita mengeluh karena kita kecewa bahwa realitas yang terjadi tidak sesuai dengan harapan kita. Bagaimana kita mengatasi hal ini. Caranya sebenarnya gampang-gampang susah, kita hanya perlu bersyukur.

Saya percaya bahwa di balik semua hal yang kita keluhkan PASTI ADA hal yang dapat kita syukuri.
Sebagai ilustrasi, Anda mengeluh dengan pekerjaan Anda. Tahukah Anda berapa banyak jumlah pengangguran yang ada di Indonesia ?
Sekarang ini hampir 60% orang pada usia kerja produktif tidak bekerja, jadi bersyukurlah Anda masih memiliki pekerjaan dan penghasilan. Atau Anda mengeluh karena disuruh lembur atau disuruh melakukan kerja ekstra. Tahukah Anda bahwa sebenarnya atasan Anda percaya kepada kemampuan Anda? Kalau Anda tidak mampu tidak mungkin atasan Anda menyuruh Anda lembur atau memberikan pekerjaan tambahan.
Bersyukurlah karena Anda telah diberikan kepercayaan oleh atasan Anda, mungkin dengan Anda lebih rajin siapa tahu Anda bisa mendapatkan promosi lebih cepat dari yang Anda harapkan.

Bersyukurlah lebih banyak dan percayalah hidup Anda akan lebih mudah dan keberuntungan senantiasa selalu bersama Anda, karena Anda dapat melihat hal-hal yang selama ini mungkin luput dari pandangan Anda karena Anda terlalu sibuk mengeluh.

Try it now:

1. Bersyukurlah setiap hari setidaknya satu kali sehari.
Bersyukurlah atas pekerjaan Anda, kesehatan Anda, keluarga Anda atau apapun yang dapat Anda syukuri. Ambilah waktu selama 10-30 detik saja untuk bersyukur kemudian lanjutkan kembali kegiatan Anda.
2. Jangan mengeluh bila Anda menghadapi kesulitan tetapi lakukanlah hal berikut ini. Tutuplah mata Anda, tarik nafas panjang, tahan sebentar dan kemudian hembuskan pelan-pelan dari mulut Anda, buka mata Anda, tersenyumlah dan pikirkanlah bahwa suatu saat nanti Anda akan bersyukur atas semua yang terjadi pada saat ini.
3. Biasakan diri untuk tidak ikut-ikutan mengeluh bila Anda sedang bersama teman-teman yang sedang mengeluh dan beri tanggapan yang positif atau tidak sama sekali. Selalu berpikir positif dan lihatlah perubahan dalam hidup Anda.

“Semakin banyak Anda bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Anda miliki, maka semakin banyak hal yang akan Anda miliki untuk disyukuri.”

Leave a comment »

Doa Akhir Tahun

ASSALAMUALIKUM,,,

 Sesungguhnya hitungan nafas telah ditetapkan, hitungan detik telah diperhitungkan.

Sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi modal tapi tidak digunakannya,

Sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi nafas tapi disia siakannya,

sebodoh bodohnya manusia adalah yang diberi waktu tapi disia siakannya,

Demi Allah, sesungguhnya semakin dekat ujung kehidupan kita,

Hisab semakin nyata, dan sesungguhnya Hisab Allah amatlah berat,

Saudaraku, Janganlah sia siakan nafas kita, jangan sia siakan waktu kita,

Sesungguhnya Hanya Allahlah tujuan kita…

 ————————- Perjalanan hidup manusia, menempuh alam dunia

menghabiskan waktu, yang tiada lama

Usia bertambah makin senja, tiada terasa tak tersadar

Semakin dekatlah kematian, akan menjelang tiba

Sadarilah, usia amanah dari Ilahi

Sadarilah, ia pasti kan dimintai

Pertanggung jawabannya pada Ilahi

Sadarilah, jalani hidup ini penuh makna

Sadarilah, pastikan ia berarti diakhirat yang abadi.

———————–

DOA AKHIR TAHUN….Do’a ini hendaknya dibaca tiga kali pada akhir waktu ashar tanggal 29 atau 30 bulan Dzulhijjah.

Bismillaahirrahmaanirraahiim,

Wa shollalloohu’alaa sayyididinaa muhammaadin wa’alaa aalihi wa shohbihii wa sallama, Alloohumma maa’amiltu fii hadzihis sanati mimmaa nahaitanii’anhu falam atub minhu wa lam tardhohu wa lam tansahu wa hamiltu ‘alayya ba’da qudrotika ‘uquubati wa da’autanii ilattaubati minhu ba’da jiroo-atii ‘alaa ma’shiyatika fa-innii astaghfiruka faghfirlii bifadhlika wa maa’amiltuhu fiiha mimma tardhoohu wa wa’adtanii ‘alaihits tsawaba wa as-aluka. Alloohumma yaa kariimu yaadzal jalaali wal ikroomi antaqobbalahu minnii walaa taqtho’ rojaa-i minka yaa kiriimu wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallam.

ARTINYA

“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau. Wahai Tuhanku, apa yang hamba perbuat sepanjang tahun ini berupa perbuatan perbuatan yang Paduka larang hamba melakukannya, sedangka hamba belum bertaubat dari padanya dan Paduka tidak meridhainya dan tidak melupakannya, dan Padukapun telah menyayangi hamba setelah Padukapun kuasa untuk menyiksa hamba, kemudian Paduka menyeru hamba untuk bertaubat setelah hamba bermaksiat kepada Paduka. Karena itu, hamba mohon ampunan dari Paduka, maka ampunilah hamba dengan Anugerah-Mu.

Dan apa yang telah hamba kerjakan ditahun ini adalah berupa perbuatan yang Paduka ridhai dan Paduka janjikan pahala atasnya, Hamba mohon pada-Mu wahai Tuhanku, Dzat Yang Maha Mulia, yang memiliki Kebesaran dan Kemuliaan, agar Paduka terima amalan hamba dan jangan hendaknya Paduka putuskan harapan hamba dari-Mu, wahai Dzat Yang Maha Mulia. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.”

—————————-

  

DO’A AWAL TAHUN….Do’a awal tahun ini hendaknya di baca tiga kali setiap tanggal 1 Muharram pada petang hari

  

sehabis shalat magrib.

  

Bismillaahirohmaanirrohiim.

Wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallama. Allohumma antal abadiyyul qodiimul awwalu wa ‘alaa fadhlikal ‘adliimi wujuudikal mu’awwali wahaadza’aamunjadiidun qod aqbala nas-alukal ‘ishmata fiihi minasysyaithooni wa auli yaa-ihi wa junuudihi wal ‘auni ‘alaa haadzihil ammaaroti bissuu-i wal istighooli bimaa yuqorribunii ilaika zulfa yaa dzal jallali wal ikroom. wa shollalloohu ‘alaa sayyidinaa muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shohbihii wa sallama.

ARTINYA

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.

Wahai Tuhanku, Paduka adalah Dzat Yang Maha Kekal, dahulu dan Awal. Hanya denga anugrah dan kemurahan-Mu yang agung, telah datang tahun baru. Di tahun ini kami memohon pemeliharaan-Mu dari Syetan, kekasihnya dan balatentaranya, dan kami memohon pertolongan-Mu atas hawa nafsu yang mengajak kepada kejelekan, dan kami memohon kesibukan dengan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.”

Amiin ya robbal ‘alamiin…

Wallohua’laam bishshowab…

Awal. Hanya denga anugrah dan kemurahan-Mu yang agung, telah datang tahun baru. Di tahun ini kami memohon pemeliharaan-Mu dari Syetan, kekasihnya dan balatentaranya, dan kami memohon pertolongan-Mu atas hawa nafsu yang mengajak kepada kejelekan, dan kami memohon kesibukan dengan perbuatan yang dapat mendekatkan diri kami kepada-Mu wahai Dzat yang memiliki kebesaran dan kemuliaan. Semoga rahmat dan salam Allah tetap tercurahkan kepada junjungan kami Nabi Muhammad teriring keluarga serta sahabat beliau.”

Amiin ya robbal ‘alamiin…

Wallohua’laam bishshowab…

Leave a comment »